Bayangkan Anda menonton sebuah pertandingan sepak bola di Liga Primer Inggris. Tim favorit Anda baru saja kehilangan bola, tetapi dalam hitungan detik, para pemainnya langsung menekan lawan dengan agresif, seolah menolak memberi kesempatan untuk bernapas. Fenomena inilah yang disebut gegenpressing.
Dalam dua dekade terakhir, taktik sepak bola mengalami revolusi besar. Kedatangan pelatih-pelatih asing di Liga Primer tidak hanya membawa filosofi baru, tetapi juga menanamkan tren dan teori taktis yang merambah hingga ke eselon tertinggi sepak bola Inggris. Salah satu taktik yang paling banyak diperbincangkan adalah gegenpressing.
Istilah “gegenpressing” berasal dari bahasa Jerman yang berarti counter-pressing. Konsep sederhananya adalah merebut kembali bola dari kaki lawan segera setelah kehilangan penguasaan, terutama di area depan lapangan.
Bagi tim yang menerapkannya, taktik ini ibarat senjata rahasia: menekan lawan di wilayah pertahanan mereka sendiri, memaksa mereka melakukan kesalahan, dan menciptakan peluang secepat mungkin.
Pelatih-pelatih besar Eropa memanfaatkan gegenpressing sebagai blueprint permainan mereka. Para pemain dituntut untuk agresif, cekatan, dan memiliki stamina tinggi untuk terus menekan tanpa henti. Dalam satu transisi yang gagal, seluruh tim harus sigap bereaksi dengan pola yang sudah dirancang.
Namun, di balik kekuatannya, gaya ini juga menyimpan kelemahan. Gegenpressing menuntut intensitas yang sulit dipertahankan sepanjang pertandingan. Ketika tekanan mulai kendor, lawan bisa mengeksploitasi ruang yang ditinggalkan dan membalikkan keadaan.